Oleh : Syekh Syadi Abu Mu’min, MA. dari Palestina
Pembicaraan tentang menghafal Kitabullah ‘Azza Wa Jalla merupakan perkara yang sangat penting, bagi umat nabi Muhammad saw. karena ini merupakan perkara yang sangat penting untuk keselamatan ummat, kebaikannya, dan kebahagiaannya, maka sesungguhnya ummat ini sudah cukup dari yang lainnya. Karena Al-Qur’an apabila telah sempurna penghafalannya, pertemanannya, dan ketenangan dengannya, maka pada saat itu manusia tidak butuh untuk mencari kebahagiaan atau keselamatan. Karena ia akan mendapatinya dalam Kitabullah ‘Azza Wa Jalla.
Selanjutnya, masalah menghafal Al Qur’anul Karim bukalah masalah ijtihad, dan bukan pula masalah bisa atau tidak bisa. Karena manusia telah Allah ciptakan memiliki berbagai kemampuan dalam banyak hal. Masalah menghafal Al Qur’anul Karim adalah masalah pemahaman. Apakah kita memahami nilai Al-Qur’anul Karim? Apakah kita memahami kebaikan Al-Qur’anul Karim? Apakah kita memahami kemuliaan Al-Qur’anul Karim? Inilah pertanyaan-pertanyaannya. Jika kita memahami urgensi, keagungan, nilai, kebaikan, kemuliaan Al Qur’anul Karim, maka setelah itu masalahnya akan menjadi sangat mudah.
Pertanyaan pertama yang ditujukan pada diri kita sebelum kita mulai menghafal Al Qur’an, sebelum membuka mushaf Al Qur’an dan ingin menghafalnya, tanyalah diri kita: apakah saya menghafal Al Qur’an karena kewajiban, ataukah saya menghafal Al Qur’an karena kebutuhan? Apakah saya membutuhkan Al-Qur’an, atau Al Qur’an membutuhkan saya? Disini ada pertanyaan yang penting yang harus dijawab: kenapa saya menghafal Al Qur’an? Jika masing-masing dapat menjawab pertanyaan ini, maka setelah itu ia akan dapat menghafal Al Qur’an. Karena masalahnya adalah masalah untung dan rugi, seperti satu tambah satu sama dengan dua. Sehingga ghoyah/tujuan menghafal adalah asas dari penghafal. Bagaimana bisa demikian?
Dalam hadits Rasulullah saw, Neraka dinyalakan di hari kiamat pertama untuk siapa? Yang pertama dilemparkan ke neraka bukanlah para thoghut, para pelaku kejahatan, para pezina, pencuri, bahkan bukan pula orang-orang kafir. Tapi adalah para Qori’ atau Hafidh Al Qur’an sebagaimana hadits Rasulullah saw. : neraka dinyalakan pertama untuk tiga orang. Pertama untuk qori’ Al Qur’an, ketika ia didatangkan ia mengatakan : “ya Rabb saya membaca, belajar dan mengajarkan Al Qur’an karena Engkau” maka dikatakan:
“engkau menghafalkan supaya dikatakan hafidh/Qori’, dan itu sudah dikatakan, maka seretlah ke neraka”.
Dan yang kedua adalah orang yang berinfaq, ia mengatakan : “ Ya Rabb, sungguh saya telah berinfaq di jalanMu” maka dikatakan: ”engkau berinfaq supaya dikatakan dermawan, dan itu telah dikatakan, maka seretlah ke neraka”. Dan yang ketiga adalah seorang mujahid, ia mengatakan: “ ya Rabb saya berjihad dan berperang di jalanMu”. Maka dikatakan kepadanya: ”engkau berjihad supaya dikatakan pemberani, dan itu telah dikatakan, maka seretlah ke neraka.” (dikutip dari HR Muslim, At Turmudzi, An Nasai, dan Ahmad dari Abi Hurairah, pent.)
Sehingga tujuan menghafal merupakan hal yang sangat penting. Apakah saya menghafal Al Qur’an supaya orang mengatakan bahwa saya hafidh, punya sanad, ijazah qiro’ah ‘asyrah, atau syeikh? Atau saya ingin agar orang tahu: “ini anak saya hafalannya sekian, dia hafal qur’an, saya hafal sekian juz” sehingga orang mengatakan kepada anda “masya Allah, kamu hafal sekian!” apakah ini tujuan anda?!
Jika tujuannya seperti ini, maka mungkin saja anda bisa menghafal Al Qur’an, sebagaimana anda bisa melakukan apa saja. Tapi yang terpenting apakah kita menghafal Al Qur’an untuk keselamatan di sisi Allah? Maka yang pertama adalah menetapkan tujuan : “saya menghafal Al Qur’an agar selamat di sisi Allah”. Kemudian Niat harus ikhlash semata-mata karena Allah swt. Sebagaimana kita mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Al Khatthab ra. “sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang adalah apa yang dia niatkan” (dikutip dari HR Bukhari dan Muslim, pent). sehingga masalah terkait dengan niat. Harus Ikhlash. Ini yang pertama.
Yang kedua, Al Isti’anah Billah (meminta bantuan kepada Allah) dan memohon kepadaNya. Bagi yang ingin menghafal Al Qur’an, Al Qur’an itu mudah, akan tetapi ia (Al Qur’an) tidak diminta kecuali dari yang tepat, yaitu dengan engkau memohon kepada Allah swt dengan mengiba, dengan sikap sangat butuh, sangat mengharap, dan sangat menginginkan. Bagaimana jika engkau membutuhkan sesuatu dalam urusan dunia, engkau meminta kepada Allah. Misalnya : “Ya Allah anugerahkan kepada saya keturunan” engkau sambil menangis, engkau sholat malam dan berdoa; ”Ya Allah anugerahkan kepada saya anak laki-laki, anugerahkan kepada saya anak perempuan, Ya Allah jagalah istri/ suami saya, Ya Allah Jagalah anak saya, Ya Allah sembuhkan Ibu saya yang sedang sakit, sembuhkan anak saya yang sakit..!” bukankah engkau memohon kepada Allah dengan sangat mengiba dan menangis?! Demikian juga Al Qur’an harus diminta dari Allah, karena Al Qur’an adalah Kalamullah. Hal itu ketika Al Qur’an menjadi obsesi yang hakiki, tidak sekedar mengatakan saya ingin menghafal Al Qur’an. Seperti ilmu yang lain atau sekolah, engkau bisa mempelajari apa saja di sekolah, yang semuanya tempatnya adalah di akal. Hal ini engkau lakukan karena kebutuhan, ingin ijazah, ingin jadi sarjana, atau magister. Bukankah engau bersungguh-sungguh menuntutnya? Hal ini adalah hal sesuatu logis. Tapi Al Qur’anul Karim, engkau harus memintanya kepada Allah dengan sangat dan mengiba.
Yang ketiga adalah Ash Shidq Fi Ath Thalab (benar dalam permohonan). Apa makna Ash Shidq? Tidak sekedar shidq Al Qaul (benar dalam berkataan), tetapi juga shidqul ‘amal, shidqul fi’li, shidqul ‘azm, dan Ash Shidq dalam merealisasikan ‘azm. Lima tingkatan dalam Ash Shidq. Tapi kapan tampak Ash Shidq Al Haqiqi?
Yaitu jika engkau mempraktekkan amaliah menghafal, shidqul qoul, shidqul fi’li, dan shidqul ‘Azm. ‘Azm yang hakiki. Dan ‘Azm ini tidak mungkin terwujud kecuali jika kita memahami nilai Al Qur’anul Karim dan urgensinya yang akan kita rinci di Akhir.
Bagaimana wujud Ash Shidq dalam praktek? Yaitu engkau mengkhususkan waktu satu jam untuk Al Qur’an setiap hari. Bukan merupakan sikap Ash Shidq, misalnya suatu hari engkau ditelpon oleh temanmu dan mau datang ke rumahmu di waktu qur’anmu, kemudian engkau keluar dan mengatakan ahlan wasahlan. Ini adalah salah dan penyelewengan. Pertanyaannya, mana yang lebih penting : temanmu atau Al Qur’an?! Satu jam bersama temanmu atau satu jam bersama Allah?
Saya bertanya kepadamu, jika engkau punya janji – saya tahu kalian di Indonesia suka bermasalah dalam urusan janji – jika temanmu berjanji kepadamu bahwa ia akan datang kepadamu jam lima, namun dia datang jam tujuh, tentu engkau akan marah bukan?! Dan engkau mengatakan : ”kenapa kamu terlambat, kenapa engkau tinggalkan begitu saja? Lebih-lebih Al Qur’an yang mulia, Al Qur’an tidak menerima sekutu.
Jika engkau membuat jadwal dengan Al Qur’an, maka engkau harus menepatinya. Kita marah jika orang terlambat memenuhi janji dengan kita. Lalu bagaimana dengan janji kita dengan Allah?! Mana yang lebih utama engkau tepati janjinya, Allah atau manusia? Bersikap benarlah kepada Allah. Karena itu, waktu dengan Al Qur’an adalah waktu yang suci. Maka Ash Sidq disini adalah Ash Shidq dalam praktek. Jika engkau langgar waktumu dengan Al Qur’an satu kali saja, maka engkau akan melakukan pelanggaran-pelanggaran setiap kali. Tidak ada alasan apapun yang membenarkan tidak adanya sikap Ash Shidq dengan Al Qur’an. Ini penting sekali.
Yang keempat, Shuhbatul Qur’an (pertemanan dengan Al Qur’an). Allah swt berfirman : “ingatlah, dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang” ( QS. Ar Ra’d :28). Maka jika engkau ingin menghafal Al Qur’an, jangan asing terhadap Al Qur’an. Bagamana engkau ingin menghafal Al Qur’an, tapi engkau tidak membuka Al Qur’an dalam sepekan kecuali hanya satu kali, atau tiga hari sekali?!. Jika seperti itu engkau tidak akan bisa menghafal Al Qur’an. maka engkau harus menjadikan Al Qur’an sebagai teman. Ash Shuhbah (Pertemanan) itulah yang akan membantumu dalam menghafal. Jika Al Qur’an telah menjadi temanmu yang spesial, maka engkau akan bisa menghafal Al Qur’an dengan mudah.
Bagaimana jika engkau merasa sedih atau capek, tentu engkau akan mencari orang yang terdekat denganmu bukan? Misalnya, ibumu, saudaramu, atau temanmu di sekolah. Engkau mengadu kepadanya, engkau duduk dengannya dan menyampaikan: “ saya sedang sedih, saya punya masalah ini dan itu”. Maka Al Qur’an harus menjadi yang paling akrab dengan kita dari orang yang paling dekat dengan kita, dimana Al Qur’an menjadi tempat pengaduan kita dan peristirahatan jiwa kita. Dan ketika Al Qur’an telah menjadi teman engkau, maka Al Qur’an-lah yang menemanimu dalam kesendirianmu, dan engkau duduk bersamanya, dan engkau habiskan waktu yang lama bersama Al Qur’an, Al Qur’an tidak jauh dari matamu. Dan ini menuntut kita untuk punya Mushaf teman, yang mana kita (di Palestina) menamainya Mushaf Huffadh atau Mushaf Shohib. Maka engkau harus punya mushaf yang menemanimu dimanapun.
Pertemanan dengan Al Qur’an, kita harus punya wirid harian dengan Al Qur’an. Dan wirid harian berbeda dengan hafalan. Apa maknanya wirid harian? Yaitu engkau harus membaca Al Qur’an paling sedikit satu juz dalam sehari, sehingga engkau mengkhatamkan Al Qur’an setiap bulan sekali. Jika engkau mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali, maka berarti Al Qur’an dari Awal sampai akhir melewati hatimu secara harian. Demikianlah engkau menjadi akrab dengan Al Qur’an, sehingga ketika engkau membuka satu halaman mushaf engkau sudah familiar dengannya. Seperti jika engkau sudah akrab dengan temanmu, engkau sudah terbiasa dengannya, setiap hari engkau bertemu dengannya, setiap hari duduk dengannya. Jika satu hari ia tidak kelihatan, engkau menelponnya : ”dimana kamu wahai fulan?, hari ini saya merasa ada yang kurang, saya tidak melihat kamu hari ini.” Tanyakan pada dirimu, dalam sehari engkau tidak baca Al Qur’an: “apakah merasa ada sesuatu yang kurang?” jika engkau tidak merasa, berarti tidak ada pertemanan.
Pertemanan adalah adanya perasaan kehilangan, perasaan kehilangan Al Qur’an, engkau merasa rindu kepadanya, seperti engkau rindu kepada ibumu, ayahmu, atau saudaramu. Engkau menunggu waktu dimana kamu akan duduk bersama Al Qur’an. Tentu saja pertemanan ini diterjemahkan dalam dua hal :
Yang pertama : Al Hubb (rasa cinta) terhadap Al Qur’an. Jika engkau mencintainya, engkau akan merasa butuh terhadapnya. Seperti jika engkau tidak makan dan tidak minum, engkau tidak bisa hidup. Apakah kita bisa tidak makan dan minum? Demikianlah Al Qur’an harus menjadi kebutuhan, sehingga engkau tidak bisa hidup tanpanya. Tentu saja hal ini perlu pikiran yang totalitas dan hati yang bersih. Hati yang disibukkan dengan urusan dunia, misalnya hati kita sibuk dengan nyanyian, hal-hal yang melenakan, atau games. jika hati kita sibuk maka tidak ada tempat buat Al Qur’an, maka tidak perlu engkau capek-capek menghafal Al Qur’an. Engkau ambil dunia atau engkau ambil Al Qur’an. Karena Al Qur’an adalah mulia dan tidak menerima sekutu. Jika ada sesuatu yang mengalahkan Al Qur’an di hatimu, ada sesuatu yang lebih engkau cintai dari Al Qur’an, maka tidak ada gunanya engkau capek-capek menghafal.
Yang kedua : ‘Adamu Al Istihya’ bihi (tidak malu dengan Al Qur’an). Apa maksudnya? Pertemanan menghasilkan keakraban. Seperti jika engkau duduk dengan sahabatmu, apakah engkau merasa malu bersamanya? Jika ada orang lewat, apakah engkau sembunyikan temanmu, sehingga tidak ada yang melihatnya? Engkau malu, atau engkau meninggalkannya, sehingga orang tidak melihatmu? Pertanyaannya : Apakah engkau malu bersama Al Qur’an? Misalnya jika engkau berada di bis, apa masalahnya engkau membuka mushaf? Apa masalahnya engkau membawa Al Qur’an dengan tanganmu, dan engkau berjalan di pasar? Sebagian orang merasa malu. Misalnya di busway atau di jalan, dia mengatakan : “ saya malu dari orang-orang.” apakah engkau malu bersama Al Qur’an dari manusia?! Apakah Al Qur’an adalah sesuatu yang membuat malu? Ini adalah tingkatan yang penting, yaitu engkau mencapai rasa bangga terhadap Al Qur’an.
Yang kelima : Al Mushabarah wal Mujahadah (kesabaran dan kesungguhan). Tentu saja setan tidak akan membiarkanmu, setan mengatakan kepada Allah :” .. demi kemuliaanMU, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya” (QS. Shad : 82), “ .. karena Engkau telah menyesatkan akau, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalanMu yang lurus. Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka” (QS. Al A’raf : 16-17). Setan tidak akan senang kita membaca Al Qur’an dan menghafalkannya. Karena harus ada kesabaran dan mujahadah. Al Qur’an semuanya baik, dan tidak dihasilkan darinya kecuali kebaikan. Masalah yang penting adalah sabar terhadap Al Qur’an. Setan akan selalu berusaha menggodamu : ”bagaimana kamu akan menghafal Al Qur’an, kamu tidak akan bisa, engkau punya anak, engkau sibuk, engkau masih kuliah, bagaimana kamu akan lulus?”
Saya katakan kepadamu, engkau harus punya sikap yang positif, bahwa Al Qur’an semuanya baik, maka engkau harus menjadikan jiwamu bersabar dalam menghafal Al Qur’an. berikutnya adalah mujahadah. Apakah engkau ingin surga tanpa hisab, engkau ingin masuk surga tanpa capek? Engkau tidak akan mendapatkan ijazah di universitas kecuali dengan belajar, engkau tidak akan dapat uang kecuali dengan bekerja. Bagaimana engkau ingin menghafal Al Qur’an tanpa usaha?! Tanpa capek?! Maka harus ada Mujahadatun Nafs (mujahadah jiwa). “…sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan “(QS. Yusuf : 53), tetapi Allah Juga berfirman dalam Al Qur’an :“Sungguh beruntung orang yang mensucikannya (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya” (QS. Asy Syams : 9-10). Maka jiwa ini engkaulah bertanggung jawab atasnya, ini masalahnya di akal bukan di jiwa. Sehingga harus ada mujahadatun nafs.
Hadits Rasulullah saw sangat jelas.: “ sesungguhnya Al Qur’an lebih cepat lepasnya dari unta pada ikatannya” (dikutip dari HR Bukhari dan Muslim). Jadi Al Qur’an cepat lepasnya, sehingga engkau harus bermujahadah dalam menghafal Al Qur’an. Bagaimana bisa bersabar dan bermujahadah terhadap Al Qur’an? Sabar dan mujahadah terhadap Al Qur’an membutuhkan suatu masalah yang penting, yaitu pemahaman terhadap nilai Al Qur’anul Karim, kebaikan Al Qur’anul karim, dan kemuliaan Al Qur’anul karim. Setiap kali jiwamu merasa futur, maka ingatlah dirimu dengan kebaikan dan pahala yang besar. Setiap setan berusaha menggelincirkanmu, maka ingatlah dirimu dengan kemuliaan Al Qur’an.
Semua yang sudah kita bahas dalam lima poin di atas, seluruhnya terkait dengan masalah pertama yang telah saya isyaratkan, yaitu pemahaman. Kita telah bahas tentang niat yang ikhlash karena Allah, kita telah bahas permohonan kepada Allah untuk menghafal dan meminta pertolongan kepadaNya, kita telah bahas Ash Shidq dalam permintaan kepada Allah swt dan ‘azm untuk menghafal Al Qur’an Al ‘Adhim dengan Ash Shidq dan memberikan waktu untuk Al Qur’an dengan Ash Shidq , kita telah bahas tentang pertemanan dan persahabatan dengan Al Qur’an hingga memudahkan kita dalam menghafal Al Qur’an, kemudian kita telah bahas tentang sabar dan mujahadah dalam jalan menghafal Al Qur’anul Karim, lima tahapan ini titik tolaknya dan yang mengarahkan kepadanya adalah pemahaman terhadap nilai Al Qur’anul Karim.
Bagaimana saya akan bersabar dalam menghafal Al Qur’anul Karim, bagaimana saya akan dapat menghafal Al Qur’anul Karim dari pemahaman terhadap faktor-faktor yang menjadikan saya mencintai Al Qur’anul Karim dan memotivasi saya untuk menghafalnya. Apa faktor-faktor tersebut, dan bagaimana saya bisa merujuk kepadanya agar menjadi titik tolak dalam meneguhkan saya dalam menghafal Al Qur’anul Karim?
Inilah masalah yang akan kita bahas sekarang.
Rasulullah saw telah bersabda : “orang yang mahir dalam membaca Al Qur’an, maka ia bersama para malaikat yang mulia dan baik. Dan orang yang membaca Al Qur’an dengan terbata-bata dan bersusah payah, maka baginya dua pahala” (pahala membaca, dan pahala susah payahnya) (dikutip dari HR. Muslim dari ‘Aisyah ra)
Dan hadits Rasulullah saw.
“bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari qiyamat sebagai penolong bagi pembacanya”(dikutip dari HR. Muslim dari Abu Umamah ra.)
“barang siapa yang membaca satu huruf dari Al Qur’an, maka baginya satu kebaikan, dan tiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat (dan Allah melipat gandakan bagi siapa saja yang dikehendakinya). Saya tidak mengatakan alif laam miim satu huruf. Tapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan mim satu huruf” (dikutip dari HR Turmudzi dari Ibnu Mas’ud ra)
Perhatikan, ini adalah pahala yang besar. Dengarkan pula hadits Rasulullah saw.:
“sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al Qur’an dan mengajarkanya” ( HR. Al Bukhari dari Utsman bin ‘Affan ra.)
Kebaikan secara mutlak.
Hadits Rasulullah saw.
Dikatakan kepada shohibul Al Qur’an – siapa shohibul Qur’an? al Hafidh orang yang hafal - : bacalah, dan naiklah, dan tartilkanlah sebagaimana engkau mentartilkan di dunia . Maka sesungguhnya kedudukanmu adalah diakhir ayat yang engkau baca.(dikutip dari HR At Turmudzi, Abu Dawud, Ahmad, Al Baihaqi, dan Ibnu Majah)
Abu Hurairah ra, yang meriwayatkan hadits ini, mengatakan : “sesungguhnya penghafal Al Qur’an ketika membaca Al Qur’an dari awal sampai akhir, hingga selesai surah An Nas, maka dia ternyata sudah berada di tempat/kedudukan Nabi Muhammad saw.”
Jadi Al Hafidh berada di kedudukan siapa? Kedudukan Nabi saw.
Bacalah juga hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh At Turmudzi : “ siapa yang diberikan Al Qur’an di dadanya, maka dia telah diberikan kenabian di dadanya, hanya saja dia tidak mendapatkan wahyu”
Apa kenabian itu ? Al Qur’an. apa risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw? Al Qur’an.
Hadits Rasulullah saw: ”sesungguhnya orang yang di dalam dadanya tidak terdapat sebagian ayat dari Al Qur’an bagaikan rumah yang tidak ada penghuninya” (dikutip dari HR. At Turmudzi, Al Hakim, dan Al Baihaqi)
Yaitu rumah yang mau roboh, yang buruk, yaitu dada yang kosong dari AL Qur’an.
Hadits Rasulullah saw – haditsnya sangat banyak - :
“sesungguhnya Allah memiliki keluarga dari manusia - Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah -. Sahabat bertanya : ya Rasulallah siapakah mereka? Rasulullah menjawab : ahlul qur’an, mereka adalah keluarga allah dan orang-orang spesialnya (dikutip dari HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Saya bertanya kepadamu, jika setan menggodamu, bertanyalah pada dirimu : apakah engkau ingin berada pada kedudukan Rasulullah saw? apakah engkau ingin menjadi keluarga Allah dan orang spesialNya?, apakah engkau ingin mendapat kebaikan disetiap hurufnya, dan setiap kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali lipat, dan Allah melipat gandakan bagi siapa saja yang dikehendakinya? Apa engkau ingin itu semua? Jika engkau ingin itu semua, maka jagalah Al Qur’an.
Dari itu, ada banyak hadits tentang menghafal Al Qur’anul Karim, dan lebih banyak lagi hadits shohih dari Rasulullah saw tentang orang yang memiliki kelebihan dalam Al Qur’an. baik orang itu mukmin atau munafiq. Dimana Rasulullah pernah bersabda tentang mukmin yang membaca Al Qur’an dan mukmin yang tidak membaca Al Qur’an, munafiq yang membaca Al Qur’an dan munafiq yang tidak membaca Al Qur’an. Karena Al Qur’annul Karim semuanya baik. Dalam Hadits Rasulullah saw : “ permisalan orang mukmin yang membaca Al Qur’an, seperti buah limau, aromanya wangi dan rasanya manis. Sementara orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an, seperti buah kurma, tidak beraroma dan rasanya manis. Orang munafiq yang membaca Al Qur’an seperti raihanah, aromanya wangi tapi rasanya pahit. Adapun orang munafiq yang tidak membaca Al Qur’an, seperti buah handholah, tidak beraroma dan dan rasanya pahit” (dikutip dari HR. Al Bukhari dan Muslim).
Ini adalah dalil, bahwasanya Al Qur’an memiliki keutamaan, baik atas orang mukmin atau tidak. Baik engkau baca dengan ikhlas atau tidak. Maka Al Qur’an semuanya baik. Dan keutamannya datang kepada semua manusia disebutkan dalam Al Qur’an.Sebagaimana firman Allah swt. :
“sesungguhnya Al Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang beramal sholeh, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. “(QS. Al Isra’ : 9)
Juga firman Allah - ayatnya sangat banyak yang menyebutkan tentang keutamaan Al Qur’anul Karim - :
“dan bacalah Al Qur’an dengan setartil-tartilnya “ (QS. Al Muzammil : 4)
Ini adalah kata perintah, yang bermakna wajib menurut semua ulama. Yaitu, wajib membaca Al Qur’an sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Untuk itu kita meyakini bahwa belajar membaca Al Qur’an dengan bacaan yang benar hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi setiap muslim.
Karena itu, untuk menghafal Al Qur’an, engkau harus memiliki pandangan yang positif, dan pemahaman tentang kebaikan Al Qur’anul ‘Adhim, dan kebaikan Al Qur’an atas manusia. Dan Allah swt ketika berfirman
dalam kitabNya yang mulia : “ Sungguh Al Qur’an telah kami mudahkan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” ( QS. Al Qomar : 15/22/32/40). Ini jelas, bahwa Al Qur’an itu mudah, tetapi “adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” Allah swt memberikan seruan kepada hamba-hambanya. Apakah engkau siap untuk menyambut seruan Allah ini? Apakah engkau ingin menjadi orang di barisan pertama yang menghafal Al Qur’an dan mendapatkan kemuliaan, dan keagungan Al Qur’an, yang menjadikanmu berada dalam barisan para malaikat dan barisan para nabi? Inilah, Allah swt, Rabb kalian menyeru kalian untuk menerima Al Qur’an. maka engkau harus memiliki pandangan yang positif di dalam dirimu dalam memahami kebaikan Al Qur’an. ini penting sekali.
Maka, pemahaman terhadap kemuliaan Al Qur’anul ‘Adhim, dan pengagungan Al Qur’anul ‘Adhim, pada tingkatan pertama, inilah yang menjadikanmu menempuh jalan menghafal, dan menunjukkan kepadamu jalan menghafal Al Qur’anul Karim, yaitu pengagungan Al Qur’anu’ ‘Adhim dan pemuliaannya.
Ketika kita pemahami bahwa Al Qur’an memberi petunjuk kepada jalan yang lurus – Allah yang mengatakan hal ini -, ketika kita mengetahui bahwa dalam Al Qur’an ada keselamatan, maka sebaliknya, bagaimana jika engkau paham bahwa juga ada hukuman bagi yang mengabaikan Al Qur’an? Apakah engkau tahu, jika engkau mengabaikan Al Qur’an, engkau akan masuk dalam permusuhan dengan Rasulullah saw? apakah di antara kita ada yang ingin menjadi musuh bagi Rasulullah saw di hari kiamat? Kita semua menginginkan syafa’at Nabi saw. bukankah Rasulullah saw bersabda : “ aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan tersesat selamanya, kitabullah dan sunnah rasul”.
Allah juga berfirman : “ dan Rasul berkata : Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur’an ini diabaikan “ (QS. Al Furqon : 30)
Para ulama berkata : “orang yang tiga hari berturut-turut tidak membaca Al Qur’an, maka ia adalah orang yang mengabaikan Al Qur’an.” maka dia masuk dalam permusuhan dengan Nabi saw, apakah engkau ingin berdiri di hari kiamat menjadi musuh bagi Nabi Muhammad saw? “ dan Rasul berkata : Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur’an ini diabaikan “ . meraka tidak membacanya, mereka tidak mengamalkannya, mereka tidak menghafalkannya. Lihatlah dimanakah engkau?! Apakah engkau membaca Al Qur’an setiap hari? Apakah engkau mengagungkan Al Qur’an? apakah engkau memuliakan Al Qur’an? tanyakan pada dirimu!!!!
Saya bertanya kepadamu tentang tafsir firman Allah swt :
“Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka simaklah baik-baik, dan perhatikanlah agar kalian mendapat rahmat”
Ayat ini sangat berbahaya. Apabila dibacakan Al Qur’an, maka simaklah. Perintah dari Allah swt yang konsekwensinya adalah wajib. Apabila dibacakan Al Qur’an, fastami’uu lahu (maka simaklah). Allah tidak mengatakan fasma’uu (maka dengarkanlah). Dan ini beda, antara istima’ (menyimak) dan sama’ (mendengar). Saya mungkin bisa mendengar suara, saya sekarang mendengar sebagian kalian ngobrol sana sini, dan saya mendengar suara-suara lain, mendengar biasa. Akan tetapi apakah engkau memberikan hati? Maka hati harus menyimak, dan bukan sekedar mendengar dari telinga yang masuk dari telinga kanan keluar dari telinga kiri. Allah swt mengatakan : fastami’uu lahuu. Kemudian Allah mengatakan apa? Wa anshituu, maknanya adalah dengan tadabbur, interaksi, dan tafakkur dengan Al Qur’an. kemudian Allah mengatakan apa ? la’allakum turhamuun (agar kalian mendapat rahmat), Allah mengatakan la’allakum turhamuun, dan tidak mengatakan idzan turhamuun, dan tidak mengatakan liturhamuu, tetapi Allah mengatakan la’allakum turhamuun. Apa makna la’allakum? Dalam bahasa Arab, kata la’allaka ketika dipakai di dalam Al Qur’an, maka bermakna : bahwa yang melanggarnya akan mendapatkan yang sebaliknya. la’allakum turhamuun (agar kalian mendapat rahmat), yaitu bahwa rahmat terkait dengan apa? Terkait dengan istima’ (menyimak) dan inshoot (memperhatikan). Artinya jika dibacakan Al Qur’an, engkau tidak menyimak dan tidak memperhatikan, maknanya adalah tertolak dari rahmat Allah. Bahwa yang melanggarnya akan mendapatkan yang sebaliknya. Yang melanggar istima’ (menyimak), maka konsekwensinya adalah kebalikan dari rahmat. Apa kebalikan dari rahmat ? laknat. Allahu Akbar, ini masalah yang berbahaya. Ini adalah masalah yang penting, pengagungan Al Qur’an dan pemuliaannya, ialah yang akan membawamu untuk menghafal.
Yang berikutnya yang harus kita pahami adalah adab terhadap Al Qur’anul Karim. Kita semua harus punya buku tentang adab terhadap Al Qur’nul Karim. Al Qur’an janganlah dijadikan seperti musik yang didengarkan begitu saja. Diputar di laptop, mp3, tapi pikiran kita kemana-mana. Al Qur’an ini harus diperhatikan, tidak boleh diabaikan seperti itu. Rasulullah saw. bersabda :
“ siapa yang ingin berbicara dengan Allah, hendaklah ia melaksanakan sholat. Dan sebaliknya, siapa yang ingin Allah berbicara dengannya, maka hendaklah ia membaca Al Qur’an.”
Karena di dalam Al Qur’an ada perintah Allah, larangan, peringatan dan sebagainya. Seperti ketika kita mendengarkan pidato presiden SBY, orang mendengarkannya baik-baik. Tapi Al Qur’an ini, Allah yang berbicara dengan kita. Maka tidak boleh pikiran kita disibukkan pada yang lainnya. Termasuk memutar murottal, tapi pikiran kita kemana-mana. Seperti saya juga perhatikan ada orang yang memutar murottal di mobil, kemudian dia ngobrol dengan temannya. Pilihannya, murottalnya dimatikan, atau orangnya diam dan memperhatikan bacaan Al Qur’nul Karim. Termasuk ketika ibu-ibu dirumah memutar murottal, sambil masak, sambil bersih-bersih. Maka ini tidak boleh, memutar murottal, namun disibukkan dengan pikiran-pikiran yang lain. Demikian juga terhadap anak-anak. Janganlah kita memutar murottal sedangkan mereka ramai. Tapi murottalnya harus kita matikan terlebih dahulu. Tetapi ketika anak-anak tidur, tidak ada masalah ketika kita memutarkan murottal buat mereka, karena didalamnya ada keberkahan. Maka ketika kita mendengar Al Qur’an tidak boleh disibukkan dengan yang lainnya.
Al Qur’an juga tidak boleh ditempatkan pada tempat yang rendah. Misalnya, Haram engkau meletakkan Al Qur’an di dalam tas dan di atasnya ada barang lain. Al Qur’an harus diletakkan paling atas. Bagian dari adab terhadap Al Qur’an: ketika datang seseorang kepadamu, dan engkau sedang membaca Al Qur’an sambil duduk, kemudian temanmu datang, engkau mau bersalaman dengannya, maka haram bagimu untuk berdiri. Dialah yang harus duduk dan bersalaman. Engkau tdk boleh berdiri sedang bersamamu ada Al Qur’an, siapapun yang datang. Jangan berdiri. Ketika engkau membaca Al Qur’an, kanapa haram untuk berdiri? Ini adalah Al Qur’an, ini adalah agung. Apakah berdiri karena orang tersebut? Siapa orang tersebut? Siapa dia? Siapapun dia. Jika engkau ingin menghormati, misalnya dia adalah ayahmu, orang yang lanjut usia, apa yang harus engkau lakukan? Engkau berdiri dan letakkan Al Qur’an di tempat yang tinggi, kemudian engkau kembali dan bersalaman. Adapun engkau berdiri untuk seseorang -seperti apapun kedudukan orang tersebut - dan Al Qur’an bersamamu, maka ini tidak boleh. Atau dia yang duduk dan bersalaman. Ini masalah penting. Juga dalam kelas ketika mengajarkan Al Qur’an kepada murid-murid, ketika guru masuk, kemudian dikatakan “berdiri” atau “stand up”. Ini tidak boleh. Murid tidak boleh berdiri, dia harus tetap duduk dalam kelas Al Qur’an, ini harus kita ajarkan. Mana yang lebih mulia engkau –sebagai pengajar- atau Al Qur’an? ini masalah penting, wajib mengagungkan Al Qur’an. Misalnya juga ketika engkau duduk bersila dan engkau letakkan Al Qur’an di atas kaki, ini juga haram, tidak boleh. Al Qur’an harus ditinggikan, engkau harus memegangnya, atau diletakkan di atas meja kecil. Tapi jangan diletakkan lebih rendah darimu. Jadi, Al Qur’an harus diagungkan dan dimuliakan.
Sesi tanya jawab :
(95 % hadirin dalam acara ini adalah kaum wanita. Ada tiga pertanyaan dari hadirin, semuanya dari ibu-ibu)
Pertanyaan pertama: bagaimana metode untuk menghafalkan Al Qur’an di Palestina sehingga anak-anak bisa hafal dalam dua bulan?
Jawaban pertanyaan pertama :
Tentang metode menghafal dalam dua bulan, sesungguhnya ini butuh dauroh tersendiri (sambil tertawa).
Tapi ini pengalaman yang kami lakukan tidak hanya di Palestina, tapi juga di Yordania dan Saudi, dan semuanya sukses. Tapi kita di Palestina memiliki kelebihan dalam masalah jumlah. Seperti dulu saya mengajar di Saudi, di Makkah Al Mukarromah dalam program tahfidh di Masjidil Haram, dalam satu tahun hanya meluluskan 40 saja murid yang hafal Al Qur’an dalam program dua bulanan. Di Yordania meluluskan 60 sampai 70 hafidh dalam setahun dalam program dua bulanan. Namun di Palestina kita meluluskan setiap tahun 10.000 (sepuluh ribu) hafidh dan hafidhah Al Qur’an, yaitu lima ribu hafidh dan lima ribu hafidhah. Kita melaksanakan program dengan bentuk umum. Tapi metode tetap memungkinkan. Kita juga terapkan di Turki dan Pakistan, yang mana mereka bukanlah orang arab. Karena masalahnya bukan masalah bahasa. Tidak ada hubungannya. Masalahnya adalah masalah agenda yang teratur. Dalam liburan musim panas, diadakan mukhoyyam Al Qur’an bagi siswa di masjid selama dua bulan penuh. Tidur, makan, minum, dan menghafal di tempat tersebut dan tidak meninggalkannya. Mereka hanya punya satu kegiatan, yaitu menghafal Al Qur’an.
Kelebihan di Palestina, kita tidak punya banyak kesibukan. Kita tidak punya tempat-tempat permainan, tempat hiburan, juga tidak ada tempat bermain anak-anak. Kita hanya punya masjid-masjid. Apa sebab kita mempunyai banyak hafidh? Yaitu keseriusan. Kita menjadi masyarakat yang memiliki keseriusan, semua masyarakat. Masing-masing menginginkan anak-anaknya hafal Al Qur’an. ada dorongan hakiki pada masyarakat di Gaza secara tersendiri. Kita terapkan program ini di Gaza, orang-orang menjadi memiliki respon yang terhadap menghafal Al Qur’an, karena mereka hidup dalam suasana jihad dan perjuangan. Dan kita menjadi punya pemahaman terhadap makna syahid di jalan Allah dan menyambut Allah.
Anak-anak kalian (di Indonesia), ketika liburan, barangkali mereka bermain, atau bertamasya ke tempat yang indah. Tapi kita (di Palestina) tidak punya itu semua. Maka kita bawa mereka ke masjid-masjid. Itulah tempat rekreasi mereka, tempat bergembira mereka, masjid. Maka dari itu, orang-orang yahudi dalam perang Gaza yang terakhir, ketika mereka menyerang Gaza, apa yang mereka serang? Mereka menyerang masjid-masjid. Karena masjid-masjid tersebut yang mengeluarkan para hufadh. Karena para hufadh itulah yang membela Gaza dan berjihad di Jalan Allah. Kami di Brigade Al Qossam memiliki 70.000 (tujuh puluh ribu) pasukan, ini adalah jumlah yang dipublish, semuanya adalah hufadh. Dalam peperangan Furqon yang terakhir, kurang lebih 3 tahun yang lalu, ketika Gaza diserang, Orang-orang Israel datang dengan 40.000 (empat puluh ribu) pasukan, yang menghadapi mereka hanya 15.000 (lima belas ribu) hafidh saja. Kita hanya menggunakan 5% (lima persen) dari kekuatan kita saja. Semua yang berperang adalah hufadh kitabullah. Ya, ini barokahnya jihad. Tapi metode tidak berbeda dengan di tempat lain. Ini juga karena keistimewaan tarbiyah. Kita punya manhaj tarbawi. Kita mencapai suatu pergerakan Islam, -ini bagian dari jasa Syekh Ahmad Yasin rahimahullah - , kita mentarbiyah masyarakat, kita tidak sekedar mentarbiyah individu-individu harokah dan kader-kader hamas, kita menempuh jalan Nabi Muhammad saw. Seperti ‘Amr bin Al ‘Ash ketika beliau menginvestigasi kemah-kemah pasukannya dalam peperangan Nahawan yang menaklukkan negeri Persia, katika beliau melewati kemah yang terdengar suara tilawah Al Qur’an, beliau mengatakan : “ dari sini kemenangan!”. Tapi ketika melewati kemah-kemah, sementara pasukan sedang tiduran, beliau mengatakan :” dari sini muncul kekalahan!” maka kemudian mereka dikelompokkan dan ditempatkan di belakang. Adapun yang membaca Al Qur’an, mereka ditempatkan di depan. Hal ini sejak periode Rasrulullah saw. sehingga Al Qur’an dipahami oleh orang-orang Palestina karena tarbiyah Islamiyah. Ini adalah manhaj Syekh Ahmad Yasin, manhaj Imam Syahid Hasan Al Banna, dan Manhaj Imam Sayyid Qutub yang mengatakan bahwa umat Islam tidak akan menang kecuali dengan generasi Al Qur’anul Karim saja. Ini perkataan Sayyid Qutub. Semua yang kita lakukan di Palestina, menerapkan prinsip ini. Kita terapkan amaliyah ini. Kita mentarbiyah masyarakat. Kematian bagi kita datang dengan cepat. Kita sudah terbiasa dengan kematian. Kematian bagi kami menjadi permulaan kenikmatan, dan bukan akhir kenikmatan. Karena kita hidup dalam peperangan dan penyerangan. Boleh jadi engkau sedang tidur tiba-tiba meninggal, engkau berjalan di jalan tiba-tiba terkena ranjau dan meninggal. Sehingga kedekatan dengan kematian dan perasaan dekat dengan Allah, menjadikan penduduk Gaza mengetuk pintu Allah. Ini gambaran pemikiran secara umum. Semua manusia menjadi mempunyai keyakinan bahwa keselamatan, kebahagiaan, dan kebaikan di dunia dan akhirat adalah dengan Al Qur’an. Dan ini adalah dari barokah jihad di Jalan Allah.
Pertanyaan kedua : apakah larangan mendengarkan murottal sambil melakukan aktifitas yang lain bersifat mutlak? Misalnya sambil memasak atau bersih-bersih kita dengarkan murottal agar telinga kita terbiasa dengan Al Qur’an - bukannya tidak menghargai - , dan daripada kita mendengarkan yang lain-lain. Apakah keharaman ini, berarti tidak boleh sama sekali?
Jawaban Pertanyaan kedua :
Mungkin jika tujuannya supaya terbiasa, saya katakan, jika engkau sedang mengerjakan sesuatu di rumah, memasak, bersih-bersih, atau kesibukan yang lain dan engkau diam, maka dengan ini engkau bisa mengambil manfaat dan ada faedahnya. Tapi jika engkau duduk bersama teman-temanmu, dan kalian ngobrol. Engkau berbicara, dia berbicara, yang lain juga berbicara, bagaimana engkau akan terbiasa? Tidak. Ini tidak benar. Ini adalah berpaling dari peringatan Allah. Saya katakan jika engkau beraktifitas, ada kesibukan, seperti menjahit, menulis, atau apa saja yang engkau kerjakan, sambil mendengan murottal, maka ini tidak ada masalah. Yang penting jangan berbicara. Jika engkau menidurkan anakmu, dan menyimak murottal, tidak ada masalah. Tapi jika ada pembicaraan diantara sekelompok orang yang sedang duduk-duduk, sambil ngobrol, sambil memutar murottal, ini tidak boleh. Pilihannya, mendengarkan pembicaraan, atau mendengarkan Al Qur’an. ini satu perkataan. tidak ada perdebatan di dalamnya. Juga mungkin supaya engkau terbiasa dengan Al Qur’an, ketika di mobil, engkau memutar murottal Al Qur’an, tapi engkau harus wajibkan pada semuanya : ”sekarang kita ingin mendengarkan Al Qur’an, kita diam dan jangan berbicara” , ini boleh. Adapun selain itu, maka tidak boleh. Atau engkau memakai earphone pada telinga ketika di jalan, tetapi yang penting engkau tidak disibukkan dengan pembicaraan yang lainnya.
Pertanyaan ketiga : siapa yang dimaksud dengan Ahlul Qur’an?
Jawaban pertanyaan ketiga :
Makna Ahlul Qur’an adalah mereka yang senantiasa menghafalnya, membacanya, dan mempelajarinya. Jadi maksud Ahlul Qur’an adalah meraka yang senantiasa menjaga Al Qur’an, memberikan Al Qur’an waktu untuk Al Qur’an. Ahlul Qur’an bukanlah orang yang memberikan Al Qur’an waktu sisanya. Tidak mungkin engkau menjadi Ahlul Qur’an, jika engkau memberikan waktu untuk Al Qur’an hanya setengah jam dalam sehari. Ahlul Qur’an adalah mereka yang memberikan kepada Al Qur’an mayoritas waktunya. Waktu yang banyak. Engkau menyibukkan diri dengan Al Qur’an.
Imam Syatibi rahimahulllah mengatakan :
“dan Kitabullah adalah sebaik-baik teman, dan mengulangnya menambah keindahan didalamnya. Maka
wahai para Qori’ yang berpegang teguh kepadanya, yang memuliakannya di segala kondisi, selamat dan bahagia buat kedua orang tuamu dengan pakaian cahaya berupa mahkota dan perhiasan. Maka bagaimana balasan bagi orangnya sendiri?! Mereka itulah keluarga Allah dan barisan malaikat”
Keluarga Allah dan barisan para malaikat, meraka adalah orang-orang yang sibuk dengan Al Qur’an. Mereka belajar Al Qur’an, mereka mengajarkan Al Qur’an.
(Acara diakhiri dengan pembacaan Al Qur’an oleh putra pertama dari Syekh Syadi yang bernama Mu’min yang berusia lima tahun, dan penyerahan bantuan untuk palestina yang terkumpul dari hadirin (yang hampir semua ibu-ibu) sebesar Rp. 1.417.000,- ditambah beberapa perhiasan.)
Posting Komentar